Tuesday, April 23, 2013

No one wants freedom

It's only after we've lost everything that we are free to do anything.

Kalimat yang diutarakan oleh Tyler Durden dari novel nihilisme Fight Club karya Chuck Palahniuk itu sepertinya paling cucok untuk mengantar apa yang akan diutarakan oleh Mustafa. Bahwa sejatinya tidak ada yang menginginkan kebebasan. 

Sejak lama Mustafa menginginkan kebebasan untuk menjalankan hidup sesuai dengan apa yang dia mau. keluar dari rumahnya, terlepas dari orangtua, menghidupi diri sendiri, melakukan apa yang dia suka, dan hidup dengan siapa yang dia mau. Pada suatu kesempatan dijalaninya pula keinginannya untuk menjadi sosok yang bebas. 

Dengan berbagai alasan Mustafa  keluar dari rumahnya dan meninggalkan kedua orangtuanya. Pindah tempat tinggal dan pindah kota. Di kota yang baru itu Mustafa mencari pekerjaan dan mendapatkannya walaupun dengan cara yang sebenarnya tidak mudah. Pindah di rumah sewaan yang induk semangnya terkenal galag di kalangan warung-warung tegal sekitar dengan pembayaran yang tak boleh  tertunda satu hari pun. Menghidupi diri sendiri pun tidak semudah yang dibayangkan oleh Mustafa. Bekerja keras seperti kuda dengan penghasilan yang hanya cukup untuk membayar kos dan makan. Belum lagi atasannya yang sangat memperhatikan absensi dan target. Waktu luang yang Mustafa bayangkan untuk dapat melakukan hobinya ternyata juga sudah habis tak bersisa untuk pekerjaannya dan bertemu dengan klien yang berusaha bersikap profesional. Hidup dengan sesiapapun dirasakannya tetap tidak bisa membebaskannya. Selalu kepentok dengan garis sosial yang mau tidak mau harus dihadapinya. 

Akhirnya, kebebasan hanya membawa Mustafa pada keterkekangan yang lainnya. Mencoba berfikir sederhana pun sebenarnya sangat sulit. Tidak bisa ternyata manusia hanya makan tidur dan berbusana dengan bebas. Mau makan bayar, mau tidur bayar, mau pakai baju bayar. Selalu ada konsekuensi atas imaji kebebasan yang ada dalam benak Mustafa. 

Terlalu lama Mustafa mengeluh tentang kebebasan dan keinginannya untuk melakukan apa yang di gemari. Sayang sekali, tidak bisa. Jalan yang harus Mustafa tempuh memang hanya terjun bebas ke dalam keterkekangan itu. Menghilangkan keinginan untuk hidup bebas bagai merpati, yang sebenarnya juga tidaklah bebas - siapa tau pas cari makan justru dimakan sama elang, dan memasang kembali pelana diatas punggung untuk ditunggangi.

Akhirnya Mustafa hidup dengan keinginan untuk menjadi terkekang. Mustafa ingin bekerja di bawah tekanan, ingin hidup dengan Musdalifah yang dia cintai dan berurusan dengan birokrasi dan tetek bengek, ingin tinggal di sebuah rumah sewaan dengan tekanan ibu kos yang seksi dan keji, dan Mustafa ingin berpakaian dengan rapi agar dilihat sebagai seorang yang sudah dewasa.

Segala tindakan yang dilakukan oleh Mustafa sudah diamini akan selalu bersinggungan dengan orang lain. Bagaimana dia menekan sifat kekanak-kanakannya agar selalu dicintai, bagaimana dia menekan keinginannya untuk memakai sepatu kets agar terlihat lebih dewasa dan berwibawa, sampai bagaimana dia membaik-baikkan ibu kos agar tetap bisa tinggal di rumah sewaannya itu. 

Melihat sekeliling, Mustafa sadar banyak sekali yang mengalami hal yang sama dengan dia, hidup serba terkekang. Yang membedakan Mustafa dengan kebanyakan orang itu hanyalah kesadaran dan keihklasan yang dimiliki oleh Mustafa. Semua orang ingin hidup dengan kekasihnya, semua orang ingin bekerja demi makanan yang akan dimakan, semua orang ingin memiliki tempat tinggal sendiri, dan semua orang ingin berpakaian dewasa agar dilihat seperti orang yang sudah matang. Semua orang ingin hidup terkekang dan tidak ada yang ingin bebas.

Jika ingin bebas, jadi orang gila saja! bwaahahahahahaaaaaa... 

No comments:

Post a Comment