Mustafa kecil terbangun pagi
dan tak lupa menangis. Tidak ada kesakitan atau luka maupun mimpi buruk yang
dialaminya, tetapi menjadi sebuah kewajiban bagi Mustafa kecil untuk selalu
menangis setiap kali bangun tidur. Tangisannya tak akan berhenti sebelum mbah
uti datang dan menggendongnya bangkit dari ranjang. Walaupun Mustafa menyangkal
karena dia hanya ingat sekali dia menangis saat bangun tidur, dan itupun dia
lakukan penuh dengan kesadaran, tetapi menurut pengakuan orang tuanya, tangisannya
itu berlangsung sejak Mustafa lahir sampai dia masuk sekolah di TK/SD Santa
Lucia.
Santa Lucia adalah sekolah
milik yayasan katolik satu-satunya di Sawahlunto, bangunannya menempel dengan
gereja katolik dan juga asrama untuk para katolikian
yang ingin memperdalam agama tersebut. Dengan gaya arsitektur ala belanda,
Santa Lucia dominan berwarna hijau dan putih, separuh bawah hijau laut, separuh
atas putih. Pintu gerbangnya adalah kayu kokoh yang besar seperti gerbang milik
kastil-kastil kuno di film perang elizabethian. Pilarnya hanyalah pilar
sederhana yang tidak beraksen, tetapi wujudnya sangat gemuk. Tergantung sebuah
bel sekolah yang terbuat dari besi, dan hanya penjaga sekolah atau kepala
sekolah saja yang bisa membunyikannya. Ruangan sekolahnya tidak banyak,
masing-masing tingkat ada satu kelas, ditambah dengan ruang guru dan ruang
perpustakaan (garis miring ruang agama) yang kecil. Suasana yang diusungnya
Sanata Lucia adalah gothic suram menyeramkan.
Untuk sebuah sekolah katolik,
Mustafa merasa ada banyak hantu yang bergentayangan di sekolah itu. Bau apek
dan lembab kental tersimpan dalam ingatan Mustafa. Tangga kayu yang reyot
mengantarkan Mustafa kecil ke kelas di lantai dua. Toiletnya yang terletak di
pojok tidak bisa disebut layak untuk digunakan, lantai toilet yang tidak jelas,
gelap, bau, lobang kloset yang entah kemana, mengingatkan Mustafa pada ruang
bawah tanah Lawang Sewu di Semarang. Tormented!
Belum lagi bangunan mililk gereja yang terhubung dengan sekolah oleh satu
lorong seram. Bangunan yang tampaknya asrama itu adalah bangunan besar dengan
lantai kayu, yang terdiri dari banyak ruangan kosong yang suram. Setelah
dewasa, ingatan tentang Santa Lucia selalu datang setiap dia melihat Lawang
Sewu. Santa Lucia adalah TK / SD dengan bangunan penuh penyiksaan.
Tetapi banyak kenangan yang
tersimpan di Santa Lucia. Seperti saat hari pertama Mustafa kecil menjadi murid
TK Santa Lucia. Dari rumah, Mustafa sudah memakai seragam TK yang kerahnya
sekilas tampak seperti aksen jas, lengkap dengan dasinya yang membuat Mustafa
tampak gagah. Supaya tidak perlu jajan, Mustafa juga dibekali termos yang
berisi air putih dan dikalungkannya. Diantar oleh mamanya, Mustafa diserahkan
pada guru TKnya, Ibu Ros. Seketika itu juga Mustafa jatuh cinta pada ibu Ros, begitu
pula sebaliknya.
Ibu Ros masih muda, dia
mengenakan baju putih dan rok yang Mustafa tidak ingat apa warnanya. Senyum Ibu
Ros sangat ramah dan tulus, tidak seperti senyum Mustafa yang ramah dan
menyimpan akal bulus. Wangi tubuhnya harum, rambutnya panjang, sentuhan
tangannya lembut membawa Mustafa ke dalam kelas untuk bertemu dengan rekan TK
yang lain. Mustafa didudukkan sedikit di belakang dan teringat pesan mamanya
sehari sebelum sekolah, begitu duduk di kursi kayu dia langsung melipat
tangannya diatas meja dan memperhatikan Ibu Ros. Diantara teman TK lainnya yang
terlihat hiperaktif dan ramai, Mustafa kecil lebih memilih duduk diam dan
melakukan apa yang diperintahkan oleh Ibu Ros.
Begitu selesai hari pertama,
Mustafa kecil langsung diantarkan oleh Ibu Ros kepada mamanya sambil digandeng
melewati lapak Bu Abah penjaja lontong sayur. Ibu Ros tak henti-hentinya memuji
Mustafa kecil yang anteng dan tidak macam-macam, kelakuannya dinilai santun
oleh Ibu Ros. Betapa besar hati mama Mustafa mendengar pujian itu dari mulut
guru TKnya langsung. Pada saat itu Mustafa kecil masih memilih menggandeng
tangan Ibu Ros daripada tangan mamanya sendiri, parahnya sambil menempel pada
kaki Ibu Ros, sehingga mamanya harus merebutnya dengan sedikit paksaan dan
sedikit malu.
Pada hari kedua, Mustafa kecil
kembali diantar oleh mamanya ke sekolah. Kali ini Mustafa dijadikan contoh di
tengah-tengah kelas atas sikapnya yang tenang dan tidak seagresif teman
kelasnya yang lain. Dan sekali lagi kejadian seusai kelas di hari pertama
terulang lagi, Mustafa harus ditarik paksa oleh mamanya untuk kembali ke rumah.
Tapi kejadian ini menjadi kejadian terakhir, karena keesokannya Mustafa sudah
mulai berangkat sendiri ke sekolah, hanya diantar mamanya sampai gerbang
rumahnya, setelah itu Mustafa harus sendirian melewati jembatan dengan arus
kali yang yang sangat besar, melewati SD Inpres, juga melewati Warung Pojok. Mustafa
kecil harus melewati bahaya sendirian, dengan tas ransel berisi bekal untuk
makan, mengalungi termos berisi air, dengan seragam kelasi putih biru ala Donal
Bebek. Ini seragam kegemaran Mustafa, karena dengan berpakaian kelasi dia
merasa lebih berjiwa petualang.
Hari demi hari berlalu, masa
TK Mustafa harus berakhir dan dia akan memakai seragam putih merah tidak lama lagi.
Tetapi kenyataan berkata pahit. Ternyata seusai libur panjang Mustafa harus
kembali mengenakan seragam kelasi dan seragam jas sekali lagi. Sementara teman
sekelasnya yang selalu dianggap lebih agresif sudah duduk di bangku SD. Sungguh
malu rasanya, karena Santa Lucia adalah TK segaligus SD, jadi Mustafa pun tetap
bertemu dengan teman TKnya yang kini sudah duduk di kelas 1 SD. Tentu saja Bullying tidak dapat dihindari lagi.
Mustafa sampai tidak mau bersekolah lagi meskipun sudah dibujuk oleh orangtuanya.
Tidak ada alasan lagi bagi Mustafa untuk melanjutkan sekolah, teman sekarang
sudah menjadi musuh, Ibu Ros yang dicintainya pun sudah tidak mengajar lagi.
Ingin rasanya Mustafa mengakhiri hidupnya. Untungnya dia bertemu dengan Pastor
Mario.
Pastor Mario adalah pastor
yang mungkin sedang melayani di Sawahlunto, langsung diimport dari Italia sana.
Pastor Mario sudah sangat tua, badannya besar seperti Kolonel Sandler, perutnya
besar, berjenggot putih, dan sering mengenakan kemeja putih dan celana khaki.
Pertemuan Mustafa pertama kali dengan Pastor Mario adalah saat Mustafa dibawa
paksa oleh mamanya ke Santa Lucia sambil menangis histeris karena enggan
bersekolah dan hanya kematian yang dipikirkannya. Saat bersahabat dengan
kematian itulah Mustafa dikenalkan pada Pastor Mario. Entah apa yang dijanjikan
oleh Pastor Mario, tetapi pada saat itu Mustafa langsung mengangguk untuk
kembali duduk di bangku TK, dan ternyata kehidupan di TK yang berikutnya
sungguh menyenangkan, dia semakin disayang oleh guru-gurunya dan sering kali
mendapat susu gratis lengkap dengan rotinya persembahan Pastor Mario. Nantinya
setelah Mustafa berkenalan dengan Nintendo, Pastor Mario sungguh mengingatkan
Mustafa pada tokoh Mario Bros. hanya warna rambutnya saja yang berbeda.
Mengalami hari yang berkesan
di TK, Mustafa berjanji untuk menjadi lebih giat lagi bersekolah. Mustafa
berpikir alasan teman-temannya bisa meneruskan ke bangku SD adalah karena
mereka banyak bermain, maka Mustafa mulai serius bermain, mulai dari bermain
menggambar, mewarnai, sampai bermain ayunan. Dan dengan keseriusan Mustafa
untuk bermain, setahun kemudian Mustafa diperbolehkan duduk di bangku SD.
Betapa gembira hati Mustafa kecil pada saat itu.
Mustafa pada saat itu memetik
pelajaran bahwa pada saatnya akan ada kejadian baik yang menimpa seseorang yang
percaya dan mau serius. Berusaha untuk serius bermain di bangku TK mengantarkan
Mustafa ke bangku SD yang diincarnya sejak setahun yang lalu. Sayangnya
keluguan Mustafa itu ternyata juga membahayakan Mustafa, kebiasaanya untuk
serius bermain dibawa Mustafa sampai di bangku SD, sehingga keseriusannya itu
hampir memaksa Mustafa untuk tinggal kelas. Sungguh bodoh sekali!