Berlawanan dengan namanya yang
kearab-araban, Mustafa terlahir di keluarga kristiani yang taat dan setia akan
ajaran agama. Setiap hari minggu, alih alih duduk tenang di depan televisi di
rumahnya menyaksikan kartun Doraemon, Mustafa kecil pergi ke gereja untuk
mengikuti sekolah minggu dan beribadah di sana.
Di kota kecil Sawahlunto hanya
ada dua buah gereja, pertama gereja katholik yang bangunannya menjadi satu
dengan bangunan panjang TK/SD Santa Lucia, dan yang kedua adalah gereja HKBP
(Huria Kristen Batak Protestan). Mustafa
kecil adalah milik gereja yang kedua. Sesuai namanya, tentu saja gereja itu
dipenuhi oleh orang batak, tidak heran, karena di Sawahlunto banyak pendatang
dari Sumatera Utara. Letak gerejanya tidak terlalu jauh dari rumah Mustafa
kecil, hanya 7 menit berjalan kaki sudah sampai.
Melewati lapangan segitiga yang
persis terletak di sebrang rumah Mustafa, dia berjalan terus melewati kantor
ayahnya, sampai di jembatan dekat kantor polisi, kemudian masih terus melewati
garasi mobil kantor yang cukup suram dan besar sampai di daerah bernama Tansi
dan dibelakangnya lah gereja HKBP itu berdiri. Tansi adalah komplek rumah
tempat tinggal pegawai kantor tambang yang bangunanya lebih kecil dan lebih
rapat daripada komplek di jalan saringan tempat Mustafa bernaung. Sering kali
Mustafa diperingati oleh ayahnya untuk tidak banyak bergaul dengan anak-anak
Tansi, karena mereka yang di sana adalah anak-anak nakal. Padahal anak-anak
Tansi pun teman satu sekolah Mustafa, dan tentu saja ayah Mustafa tidak tahu
kalau anaknya, Mustafa kecil, jauh lebih nakal daripada anak-anak lain
seusianya.
Di sekolah minggu, Mustafa kecil
ditempatkan di satu ruangan kecil bersama puluhan anak kecil lainnya seusia TK
sampai SD. Di situ Mustafa kecil diajari tentang agama seperti kisah hidup para
nabi, kebaikan dan kejahatan, hukuman, pengorbanan, sampai persahabatan dengan
sesama manusia. Mustafa kecil tidak memahami itu semua, hanya satu yang
diingatnya dari sekolah minggu, yaitu gambar iblis bernuansa hitam, kuning, dan
api.
Kalau dimasukkan ke dalam seni
rupa, mungkin gambar iblis itu termasuk dalam aliran realis-absurd-apokaliptis.
Gambar itu berlatar belakang kuning seukuran A3 dengan lukisan iblis yang
sedang menggoda manusia membentuk rantai yang terus berputar. Di dalam rantai
itu latar belakangnya berwarna hitam dengan api neraka yang menyala ganas.
Wujud penggodaan iblis adalah dengan memaksa manusia minum minuman keras,
merokok, berjudi, mencuri, berbohong, sampai membunuh. Mungkin pada era itu
belum tenar yang namanya korupsi, jadi tidak ada gambar iblis yang menggoda
manusia untuk korupsi. Selain karena belum tenar, ketidak hadiran godaan untuk
korupsi bisa juga karena korupsi bukanlah godaan iblis, bisa juga karena
korupsi termasuk dalam kegiatan mencuri.
Hanya gambar itu yang memiliki
kesan paling dalam yang didapat Mustafa kecil di sekolah minggu. Sayangnya
semua peringatan yang ada di gambar itu diabaikan oleh Mustafa kecil.
Sebelum berangkat sekolah minggu,
Mustafa kecil selalu diberikan sejumlah koin oleh mamanya sebagai persembahan
pada gereja. Sesampainya di gereja, saat persembahan tiba, nakalnya Mustafa
kecil tidak memasukkan koin persembahan mamanya itu ke dalam kantong
persembahan, hanya saja tangan kecilnya tetap masuk ke dalam kantong itu untuk
mengambil uang kertas yang jumlahnya lebih banyak. Jadi saat tangan Mustafa
kecil keluar dari kantong persembahan, dalam genggamannya terselip selembar
uang lima ratusan atau jika sedang beruntung seribuan, jika sedang apes maka
yang dia dapat adalah selembar uang seratusan. Biasanya uang hasil sekolah
minggu Mustafa gunakan untuk membeli chiki sepulang sekolah minggu dan
mengoleksi hadiah "tazooz".
Tetapi tidak selamanya Mustafa
kecil melakukan itu setiap minggu, karena ada kalanya dia pamit dari rumah
untuk pergi ke gereja tetapi pada kenyataannya dia tidak ke sana. Sering kali
dia malah main ke rumah temannya di Tansi sekedar untuk menonton film doraemon
atau wiro sableng. Sungguh kecintaanya pada film benar-benar sudah tampak sejak
dirinya masih belia.
Setelah Mustafa kecil duduk di
bangku SMP pun kecintaanya pada film tidak surut, hanya semakin menjadi-jadi.
Setiap hari minggu di saat dia harus ke gereja, Mustafa kecil pamit ke gereja
tetapi naik angkot ke Mirota Kampus untuk kemudian lanjut naik bis menuju bioskop
Empire 21. Di bioskop dia akan menonton film apa saja yang ditayangkan entah
itu menarik atau tidak. Pengalaman menyaksikan film di bioskop adalah
pengalaman yang paling tidak terlupakan oleh Mustafa, sehingga saat menemukan
gedung bioskop Empire dan gedung bioskop Regen yang bersebelahan terbakar,
remuk hati Mustafa. Seperti tidak ada harapan dan tujuan, hari minggu Mustafa
kemudian diisi dengan khotbah pendeta di GKJ (Gereja Kristen Jawa) di dekat
rumahnya.
Kedua bioskop itu sepertinya
terbakar akibat ulah manusia yang tak jarang mengingkari Tuhannya, dan
terbakarnya bioskop sudah nyata-nyata bentuk teguran dari Tuhan.