Sekolah memang
sering kali menjadi momok bagi anak-anak seusia sekolah, tidak terkecuali bagi
Mustafa kecil. Santa Lucia yang terkesan horor itu sebenarnya tidak membuat
Mustafa gentar sedikitpun, dengan guru yang gemar memukul pun Mustafa tetap tidak
gentar. Hanya saja ketika Mustafa bersekolah di Santa Lucia, tentu saja dia
juga bersekolah bersama dengan kakak-kakaknya yang ternyata jenius itu.
Kedua kakak
Mustafa ternyata telah menancapkan taring mereka masing-masing di hati gurunya,
dengan kelakuan yang lebih baik dan nilai yang tidak pernah dibawah ranking 3
selalu saja membuat Mustafa merasa berada di bawah tekanan. Tetapi apalah arti
tekanan apabila dia tidak melakukan apapun untuk perubahan. Sialnya Mustafa
tidak pernah ambil pusing perihal perbandingan itu. Jadi ya seusai Mustafa
menerima raport dan nilainya tidak sebagus nilai kakaknya (seperti yang
diberitakan gurunya) Mustafa pun tidak belajar lebih giat. Hanya saja dia
selalu berkelakuan baik. Dan itu yang membuatnya bertahan di Santa Lucia.
Bagaimana
denga jenjang berikutnya?
Selepas Santa
Lucia, Mustafa pindah ke Yogyakarta, kota yang jauh lebih besar daripada
Sawahlunto. Pindah kota dan tinggal bersama kedua kakaknya dan seorang mbah
uti. Mamanya kadang di Yogyakarta selama beberapa minggu, kadang juga di
Sawahlunto selama beberapa minggu, yang jelas pada hari pertama dan kedua
Mustafa tetap diantar mamanya ke sekolah.
Bukan karena
Mustafa manja atau dimanja, tetapi memang sekolahnya jauh dari rumah. Supaya
mendapat angkutan umum, Mustafa harus berangkat dari rumah pukul 5.30 pagi,
kadang juga sudah berangkat jam segitu, angkotnya tetap saja ogah membawa
Mustafa serta karena sudah terlanjur penuh.
Kalau lancar angkot itu akan membawa Mustafa sampai di Mirota Kampus,
tempat belanja keluarga yang sangat terkenal di Yogyakarta pada saat itu -
Mustafa enggan menyebutkan tahun berapa supaya tidak diketahui berapa umurnya
sekarang - sekitar pukul 6.00 pagi. Nah, dari Mirota Kampus itu, dia akan
melanjutkan perjalanan lagi menuju SMPnya dengan bis umum. Jika beruntung dan
lancar, dia akan sampai di SMP pukul 6.30 pagi.
Di SMP pun
Mustafa duduk di meja paling depan, awalnya dia ingin serius belajar dan
memperbaiki pribadinya menjadi pribadi yang lebih pintar, ternyata itu tidak
merubah keadaan. Mustafa tetap saja mendapat ranking yang tidak pernah lebih
baik dari ranking 30, dari 40 siswa di kelasnya. Dan tiada hari-hari di SMP
dilaluinya tanpa omelan dari bapak dan ibu guru karena Mustafa terlalu banyak
melamun.
Saking
seringnya melamun, Mustafa pun mulai dianggap terlalu berbahaya oleh guru BPnya
dan kedua orangtuanya. Berbahaya bagi nilai-nilainya, dan berbahaya bagi masa
depannya. Anggapan itu membawa Mustafa pada seorang psikiater cantik di rumah
sakit Panti Rapih. Psikiater itu berharap Mustafa akan bercerita jujur padanya
tentang apa yang dirasakan Mustafa, tentu saja ada beberapa hal yang dikatakan
dengan jujur dan ada hal yang tidak jujur. Hal tidak jujur seperti ketika
ditanya apa yang dirasakan Mustafa, dan dia tidak berani berkata jujur, karena
saat itu Mustafa hanya ingin memeluk psikiater cantik itu.
Tetapi,
sebelum Mustafa dibawa ke psikiater, dia juga dibawa oleh kakak tertuanya ke
dokter THT. Karena sebagai walinya, kakak tertuanya itu mendapat laporan kalau
Mustafa sering tidak mendengarkan saat dipanggil oleh gurunya. Mustafa dianggap
memiliki pendengaran yang kurang, oleh sebab itu Mustafa dibawa ke dokter THT
dan dibersihkan telinganya. Memang budeg dan melamun itu berhubungan erat.
Apa hasil dari
kedua dokter tersebut? Tidak ada hasil yang dapat membawa Mustafa pada
perubahan menuju nilai yang lebih baik. Dia hanya semakin yakin bahwa psikiater
itu hanya sesosok yang pandai berasumsi, dokter THT hanya sesosok yang ingin
memberikan perawatan standar supaya dapat uang, dan guru adalah sosok yang
tidak ingin muridnya mendapat nilai jelek. Kalau orangtua? Orangtua adalah
sosok yang menginginkan hal yang terbaik terjadi pada anak-anaknya. Hal terbaik
itu tergantung pada orangtua masing-masing dan lingkungan.
Bagaimana
dengan SMA?
Sayang sekali,
Mustafa tidak banyak bercerita tentang masa SMAnya, tetapi di tahap ini Mustafa
kecil berada di tahap senang naik motor, mengganja, dan mabuk Topi Miring serta
lapen. Di tahap ini pula Mustafa bertemu dengan punk & skinhead.
Sulit sekali
mencari keterangan dari Mustafa di saat-saat SMA, seperti ada yang ingin
ditutup-tutupi, bahkan keluarganyapun enggan bercerita atau mungkin sudah
terlanjur melupakan masa-masa Mustafa menjadi nakal. Tetapi di tahap ini,
Mustafa menjadi semakin lihai mengambil hati guru-gurunya, sehingga tanpa
belajar keras pun, Mustafa kecil menjadi bintang kelas di SMAnya.
Itulah
Mustafa, enggan sekali belajar. Sungguh bodoh!