Wednesday, October 31, 2012

Sekolah


Sekolah memang sering kali menjadi momok bagi anak-anak seusia sekolah, tidak terkecuali bagi Mustafa kecil. Santa Lucia yang terkesan horor itu sebenarnya tidak membuat Mustafa gentar sedikitpun, dengan guru yang gemar memukul pun Mustafa tetap tidak gentar. Hanya saja ketika Mustafa bersekolah di Santa Lucia, tentu saja dia juga bersekolah bersama dengan kakak-kakaknya yang ternyata jenius itu.

Kedua kakak Mustafa ternyata telah menancapkan taring mereka masing-masing di hati gurunya, dengan kelakuan yang lebih baik dan nilai yang tidak pernah dibawah ranking 3 selalu saja membuat Mustafa merasa berada di bawah tekanan. Tetapi apalah arti tekanan apabila dia tidak melakukan apapun untuk perubahan. Sialnya Mustafa tidak pernah ambil pusing perihal perbandingan itu. Jadi ya seusai Mustafa menerima raport dan nilainya tidak sebagus nilai kakaknya (seperti yang diberitakan gurunya) Mustafa pun tidak belajar lebih giat. Hanya saja dia selalu berkelakuan baik. Dan itu yang membuatnya bertahan di Santa Lucia.

Bagaimana denga jenjang berikutnya?

Selepas Santa Lucia, Mustafa pindah ke Yogyakarta, kota yang jauh lebih besar daripada Sawahlunto. Pindah kota dan tinggal bersama kedua kakaknya dan seorang mbah uti. Mamanya kadang di Yogyakarta selama beberapa minggu, kadang juga di Sawahlunto selama beberapa minggu, yang jelas pada hari pertama dan kedua Mustafa tetap diantar mamanya ke sekolah.

Bukan karena Mustafa manja atau dimanja, tetapi memang sekolahnya jauh dari rumah. Supaya mendapat angkutan umum, Mustafa harus berangkat dari rumah pukul 5.30 pagi, kadang juga sudah berangkat jam segitu, angkotnya tetap saja ogah membawa Mustafa serta karena sudah terlanjur penuh.  Kalau lancar angkot itu akan membawa Mustafa sampai di Mirota Kampus, tempat belanja keluarga yang sangat terkenal di Yogyakarta pada saat itu - Mustafa enggan menyebutkan tahun berapa supaya tidak diketahui berapa umurnya sekarang - sekitar pukul 6.00 pagi. Nah, dari Mirota Kampus itu, dia akan melanjutkan perjalanan lagi menuju SMPnya dengan bis umum. Jika beruntung dan lancar, dia akan sampai di SMP pukul 6.30 pagi.
Di SMP pun Mustafa duduk di meja paling depan, awalnya dia ingin serius belajar dan memperbaiki pribadinya menjadi pribadi yang lebih pintar, ternyata itu tidak merubah keadaan. Mustafa tetap saja mendapat ranking yang tidak pernah lebih baik dari ranking 30, dari 40 siswa di kelasnya. Dan tiada hari-hari di SMP dilaluinya tanpa omelan dari bapak dan ibu guru karena Mustafa terlalu banyak melamun.

Saking seringnya melamun, Mustafa pun mulai dianggap terlalu berbahaya oleh guru BPnya dan kedua orangtuanya. Berbahaya bagi nilai-nilainya, dan berbahaya bagi masa depannya. Anggapan itu membawa Mustafa pada seorang psikiater cantik di rumah sakit Panti Rapih. Psikiater itu berharap Mustafa akan bercerita jujur padanya tentang apa yang dirasakan Mustafa, tentu saja ada beberapa hal yang dikatakan dengan jujur dan ada hal yang tidak jujur. Hal tidak jujur seperti ketika ditanya apa yang dirasakan Mustafa, dan dia tidak berani berkata jujur, karena saat itu Mustafa hanya ingin memeluk psikiater cantik itu.

Tetapi, sebelum Mustafa dibawa ke psikiater, dia juga dibawa oleh kakak tertuanya ke dokter THT. Karena sebagai walinya, kakak tertuanya itu mendapat laporan kalau Mustafa sering tidak mendengarkan saat dipanggil oleh gurunya. Mustafa dianggap memiliki pendengaran yang kurang, oleh sebab itu Mustafa dibawa ke dokter THT dan dibersihkan telinganya. Memang budeg dan melamun itu berhubungan erat.

Apa hasil dari kedua dokter tersebut? Tidak ada hasil yang dapat membawa Mustafa pada perubahan menuju nilai yang lebih baik. Dia hanya semakin yakin bahwa psikiater itu hanya sesosok yang pandai berasumsi, dokter THT hanya sesosok yang ingin memberikan perawatan standar supaya dapat uang, dan guru adalah sosok yang tidak ingin muridnya mendapat nilai jelek. Kalau orangtua? Orangtua adalah sosok yang menginginkan hal yang terbaik terjadi pada anak-anaknya. Hal terbaik itu tergantung pada orangtua masing-masing dan lingkungan.

Bagaimana dengan SMA?

Sayang sekali, Mustafa tidak banyak bercerita tentang masa SMAnya, tetapi di tahap ini Mustafa kecil berada di tahap senang naik motor, mengganja, dan mabuk Topi Miring serta lapen. Di tahap ini pula Mustafa bertemu dengan punk & skinhead.

Sulit sekali mencari keterangan dari Mustafa di saat-saat SMA, seperti ada yang ingin ditutup-tutupi, bahkan keluarganyapun enggan bercerita atau mungkin sudah terlanjur melupakan masa-masa Mustafa menjadi nakal. Tetapi di tahap ini, Mustafa menjadi semakin lihai mengambil hati guru-gurunya, sehingga tanpa belajar keras pun, Mustafa kecil menjadi bintang kelas di SMAnya.

Itulah Mustafa, enggan sekali belajar. Sungguh bodoh!  

Saturday, October 27, 2012

Mustafa: Santa Lucia

Mustafa kecil terbangun pagi dan tak lupa menangis. Tidak ada kesakitan atau luka maupun mimpi buruk yang dialaminya, tetapi menjadi sebuah kewajiban bagi Mustafa kecil untuk selalu menangis setiap kali bangun tidur. Tangisannya tak akan berhenti sebelum mbah uti datang dan menggendongnya bangkit dari ranjang. Walaupun Mustafa menyangkal karena dia hanya ingat sekali dia menangis saat bangun tidur, dan itupun dia lakukan penuh dengan kesadaran, tetapi menurut pengakuan orang tuanya, tangisannya itu berlangsung sejak Mustafa lahir sampai dia masuk sekolah di TK/SD Santa Lucia.

Santa Lucia adalah sekolah milik yayasan katolik satu-satunya di Sawahlunto, bangunannya menempel dengan gereja katolik dan juga asrama untuk para katolikian yang ingin memperdalam agama tersebut. Dengan gaya arsitektur ala belanda, Santa Lucia dominan berwarna hijau dan putih, separuh bawah hijau laut, separuh atas putih. Pintu gerbangnya adalah kayu kokoh yang besar seperti gerbang milik kastil-kastil kuno di film perang elizabethian. Pilarnya hanyalah pilar sederhana yang tidak beraksen, tetapi wujudnya sangat gemuk. Tergantung sebuah bel sekolah yang terbuat dari besi, dan hanya penjaga sekolah atau kepala sekolah saja yang bisa membunyikannya. Ruangan sekolahnya tidak banyak, masing-masing tingkat ada satu kelas, ditambah dengan ruang guru dan ruang perpustakaan (garis miring ruang agama) yang kecil. Suasana yang diusungnya Sanata Lucia adalah gothic suram menyeramkan.

Untuk sebuah sekolah katolik, Mustafa merasa ada banyak hantu yang bergentayangan di sekolah itu. Bau apek dan lembab kental tersimpan dalam ingatan Mustafa. Tangga kayu yang reyot mengantarkan Mustafa kecil ke kelas di lantai dua. Toiletnya yang terletak di pojok tidak bisa disebut layak untuk digunakan, lantai toilet yang tidak jelas, gelap, bau, lobang kloset yang entah kemana, mengingatkan Mustafa pada ruang bawah tanah Lawang Sewu di Semarang. Tormented! Belum lagi bangunan mililk gereja yang terhubung dengan sekolah oleh satu lorong seram. Bangunan yang tampaknya asrama itu adalah bangunan besar dengan lantai kayu, yang terdiri dari banyak ruangan kosong yang suram. Setelah dewasa, ingatan tentang Santa Lucia selalu datang setiap dia melihat Lawang Sewu. Santa Lucia adalah TK / SD dengan bangunan penuh penyiksaan.

Tetapi banyak kenangan yang tersimpan di Santa Lucia. Seperti saat hari pertama Mustafa kecil menjadi murid TK Santa Lucia. Dari rumah, Mustafa sudah memakai seragam TK yang kerahnya sekilas tampak seperti aksen jas, lengkap dengan dasinya yang membuat Mustafa tampak gagah. Supaya tidak perlu jajan, Mustafa juga dibekali termos yang berisi air putih dan dikalungkannya. Diantar oleh mamanya, Mustafa diserahkan pada guru TKnya, Ibu Ros. Seketika itu juga Mustafa jatuh cinta pada ibu Ros, begitu pula sebaliknya.

Ibu Ros masih muda, dia mengenakan baju putih dan rok yang Mustafa tidak ingat apa warnanya. Senyum Ibu Ros sangat ramah dan tulus, tidak seperti senyum Mustafa yang ramah dan menyimpan akal bulus. Wangi tubuhnya harum, rambutnya panjang, sentuhan tangannya lembut membawa Mustafa ke dalam kelas untuk bertemu dengan rekan TK yang lain. Mustafa didudukkan sedikit di belakang dan teringat pesan mamanya sehari sebelum sekolah, begitu duduk di kursi kayu dia langsung melipat tangannya diatas meja dan memperhatikan Ibu Ros. Diantara teman TK lainnya yang terlihat hiperaktif dan ramai, Mustafa kecil lebih memilih duduk diam dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Ibu Ros.

Begitu selesai hari pertama, Mustafa kecil langsung diantarkan oleh Ibu Ros kepada mamanya sambil digandeng melewati lapak Bu Abah penjaja lontong sayur. Ibu Ros tak henti-hentinya memuji Mustafa kecil yang anteng dan tidak macam-macam, kelakuannya dinilai santun oleh Ibu Ros. Betapa besar hati mama Mustafa mendengar pujian itu dari mulut guru TKnya langsung. Pada saat itu Mustafa kecil masih memilih menggandeng tangan Ibu Ros daripada tangan mamanya sendiri, parahnya sambil menempel pada kaki Ibu Ros, sehingga mamanya harus merebutnya dengan sedikit paksaan dan sedikit malu.

Pada hari kedua, Mustafa kecil kembali diantar oleh mamanya ke sekolah. Kali ini Mustafa dijadikan contoh di tengah-tengah kelas atas sikapnya yang tenang dan tidak seagresif teman kelasnya yang lain. Dan sekali lagi kejadian seusai kelas di hari pertama terulang lagi, Mustafa harus ditarik paksa oleh mamanya untuk kembali ke rumah. Tapi kejadian ini menjadi kejadian terakhir, karena keesokannya Mustafa sudah mulai berangkat sendiri ke sekolah, hanya diantar mamanya sampai gerbang rumahnya, setelah itu Mustafa harus sendirian melewati jembatan dengan arus kali yang yang sangat besar, melewati SD Inpres, juga melewati Warung Pojok. Mustafa kecil harus melewati bahaya sendirian, dengan tas ransel berisi bekal untuk makan, mengalungi termos berisi air, dengan seragam kelasi putih biru ala Donal Bebek. Ini seragam kegemaran Mustafa, karena dengan berpakaian kelasi dia merasa lebih berjiwa petualang.

Hari demi hari berlalu, masa TK Mustafa harus berakhir dan dia akan memakai seragam putih merah tidak lama lagi. Tetapi kenyataan berkata pahit. Ternyata seusai libur panjang Mustafa harus kembali mengenakan seragam kelasi dan seragam jas sekali lagi. Sementara teman sekelasnya yang selalu dianggap lebih agresif sudah duduk di bangku SD. Sungguh malu rasanya, karena Santa Lucia adalah TK segaligus SD, jadi Mustafa pun tetap bertemu dengan teman TKnya yang kini sudah duduk di kelas 1 SD. Tentu saja Bullying tidak dapat dihindari lagi. Mustafa sampai tidak mau bersekolah lagi meskipun sudah dibujuk oleh orangtuanya. Tidak ada alasan lagi bagi Mustafa untuk melanjutkan sekolah, teman sekarang sudah menjadi musuh, Ibu Ros yang dicintainya pun sudah tidak mengajar lagi. Ingin rasanya Mustafa mengakhiri hidupnya. Untungnya dia bertemu dengan Pastor Mario.

Pastor Mario adalah pastor yang mungkin sedang melayani di Sawahlunto, langsung diimport dari Italia sana. Pastor Mario sudah sangat tua, badannya besar seperti Kolonel Sandler, perutnya besar, berjenggot putih, dan sering mengenakan kemeja putih dan celana khaki. Pertemuan Mustafa pertama kali dengan Pastor Mario adalah saat Mustafa dibawa paksa oleh mamanya ke Santa Lucia sambil menangis histeris karena enggan bersekolah dan hanya kematian yang dipikirkannya. Saat bersahabat dengan kematian itulah Mustafa dikenalkan pada Pastor Mario. Entah apa yang dijanjikan oleh Pastor Mario, tetapi pada saat itu Mustafa langsung mengangguk untuk kembali duduk di bangku TK, dan ternyata kehidupan di TK yang berikutnya sungguh menyenangkan, dia semakin disayang oleh guru-gurunya dan sering kali mendapat susu gratis lengkap dengan rotinya persembahan Pastor Mario. Nantinya setelah Mustafa berkenalan dengan Nintendo, Pastor Mario sungguh mengingatkan Mustafa pada tokoh Mario Bros. hanya warna rambutnya saja yang berbeda.

Mengalami hari yang berkesan di TK, Mustafa berjanji untuk menjadi lebih giat lagi bersekolah. Mustafa berpikir alasan teman-temannya bisa meneruskan ke bangku SD adalah karena mereka banyak bermain, maka Mustafa mulai serius bermain, mulai dari bermain menggambar, mewarnai, sampai bermain ayunan. Dan dengan keseriusan Mustafa untuk bermain, setahun kemudian Mustafa diperbolehkan duduk di bangku SD. Betapa gembira hati Mustafa kecil pada saat itu.

Mustafa pada saat itu memetik pelajaran bahwa pada saatnya akan ada kejadian baik yang menimpa seseorang yang percaya dan mau serius. Berusaha untuk serius bermain di bangku TK mengantarkan Mustafa ke bangku SD yang diincarnya sejak setahun yang lalu. Sayangnya keluguan Mustafa itu ternyata juga membahayakan Mustafa, kebiasaanya untuk serius bermain dibawa Mustafa sampai di bangku SD, sehingga keseriusannya itu hampir memaksa Mustafa untuk tinggal kelas. Sungguh bodoh sekali!

Wednesday, October 24, 2012

Mustafa: an Introduction


Malang melintang di dunia bahasa membuat kehadiran Mustafa dipertanyakan. Setiap kali selesai mempublikasikan tulisannya di lidahibu.com, selalu datang pertanyaan “siapa kamu sebenarnya, Mustafa?” dan Mustafa selalu menghiraukannya. Tidak ada maksud sesumbar atau menutup-nutupi, tetapi Mustafa sangat sedih karena alih-alih mempertanyakan bobot tulisannya, mereka lebih tertarik mempertanyakan kehidupan pribadi Mustafa. Banyaknya pertanyaan tentang kehidupan pribadi Mustafa ditanggapinya dengan serius dan sedikit…errr…sedikit salah sepertinya. Mustafa merasa dia berbakat menjadi seorang pesohor. Sungguh keterlaluan kamu, Mustafa.

Dan syarat pertama untuk menjadi pesohor pun mulai dirintisnya, yaitu membuat sebuah otobiografi tentang dirinya sendiri. Kira-kira seperti ini kisah Mustafa.

Banyak yang mengira Mustafa lahir di sebuah negara nun jauh di timur tengah sana, tetapi sebenarnya tidak, walaupun dia senang apabila orang-orang mengira dia asli arab. Mustafa adalah anak ketiga yang lahir di sebuah kota yang nyatanya menjadi kota yang sangat besar dan sibuk, Jakarta. Itulah dia, kota kelahiran Mustafa yang penuh dengan warna-warni lampu jalanan dan menawarkan permainan “boom-boom car” dan “mandi bola” di sebuah supermarket bernama Golden Trully.  Sayangnya tidak banyak ingatan Mustafa pada kota yang terkenal dengan kesibukannya ini selain Golden Trully, karena belum genap usia tiga tahun dia sudah harus berpindah ke kota lainnya, di pulau lainnya, yang jauh lebih kecil, Sawahlunto - Sumatera Barat.

Baiklah, Sawahlunto adalah sebuah kotamadya yang saat itu dikepalai oleh walikota bernama Subari Sukardi. Kota ini adalah kota kecil yang menjadi terkenal di buku pelajaran sosial milik anak sekolah dasar pada masa itu karena kandungan batu baranya yang melimpah dan tidak tertimbun jauh di dalam bumi. Sekali cangkul, emas hitam itu pun sudah bermunculan. Sungguh sebuah kota kecil yang kaya dan menyenangkan. Perusahaan yang mengelola batu bara yang melimpah ruah itupun tidak ketolongan kayanya, semua pekerjanya difasilitasi tempat tinggal, air bersih, listrik benderang, dan juga kendaraan. Bahkan tidak hanya pekerjanya saja, seluruh warga kota itu pun merasakan akibat baik dari perusahaan batu bara itu, semua rumah yang masuk di dalam lingkup kota Sawahlunto dibiayai penggunaan listriknya. Ini adalah hasil kerja sama antara perusahaan batu bara dan perusahaan listrik yang katanya milik negara.

Kini Sawahlunto sudah menjadi kota mati, paling tidak begitu menurut pengakuan ibunya Mustafa saat dia ke Sawahlunto menghadiri pemakaman sopir pribadinya dulu. Batubaranya telah habis dikeruk oleh perusahaan batu bara itu. Tambangnya sudah ditutup dan mati tanpa aktifitas. Beberapa pohon muda tampak menghiasi beberapa sudut tambang sebagai usaha penghijauan kembali. Kota Sawahlunto kini tak lagi dialiri listrik jalanan karena tidak ada yang membiayai, hanya saja dia kembali menerangkan jantung kota dengan menjadikan diri sebagai sebuah kota wisata, sambil tersengal-sengal karena tidak terbiasa mengurus dirinya sendiri.  

Mustafa kecil sungguh hidup senang dan bahagia. Hari-harinya dipenuhi dengan tawa riang dan dibanjiri cinta oleh kedua orangtua dan kedua kakaknya. Dia adalah anak yang dibanggakan oleh ayahnya, terlebih ketika dia merengek-rengek minta disekolahkan sambil bergantung di kaki ayahnya yang saat itu tampak sangat besar. Tetapi sayang, usianya belum cukup untuk masuk sekolah di taman kanak-kanak, padahal ayahnya berpikir kalau Mustafa kecil akan menjadi seorang yang pintar dan aktif. Teman-teman Mustafa yang sudah sangat mengenalnya tentu saja akan dengan lantang mengatakan kalau pemikiran ayah Mustafa tentang hal ini adalah salah besar. Kasihan ayah Mustafa.

Akhirnya karena rengekan Mustafa yang saat itu sepertinya terlalu lantang, kedua orangtuanya tidak tahan dan dengan berat hati mengijinkan Mustafa masuk taman kanak-kanak dengan usia yang sebenarnya belum cukup. Mustafa kecil girang bukan kepalang, semua orang yang ada di rumah dipeluknya, termasuk Mbak Asih, saudara bukan pembantu bukan, hanya seorang perempuan lokal yang entah kenapa selalu datang ke rumah dan ikut memasak. Dia juga memeluk buyutnya, kakak laki-lakinya, kakak perempuannya, Om Kiman – seorang Satpam dekat rumah, Mas Gino – seorang sopir, dan tentu saja memeluk ayah ibunya.

Thursday, October 18, 2012

Beragam(a)

Hidup manusia Indonesia memang sudah Mustafa pahami sebagai kehidupan yang ajaib. Dengan dasar Bhineka Tunggal Ika yang tertulis di lambang negara Indonesia sudah terlihat kalau manusia Indonesia sangat beragam. Iya, indonesia kan luas dan tidak sempit, apalagi terpisah dengan pulau-pulau yang bertebaran di mana-mana, tambah berbeda-beda lagi dah.

Dengan slogan negara yang artinya kurang lebih "berbeda-beda tetapi tetap satu", Mustafa bertekad untuk mencari keragaman lain di pulau Lombok. Pulau yang penduduk aslinya adalah suku Sasak ini memang terlihat kecil, tetapi sebenarnya cukup luas. Mustafa melihatnya dari banyaknya tanah kosong yang masih berwujud kebun dan kebon. Kebun biasanya berisi bunga dan tanaman hias, sementara kebon berisi tanaman pangan seperti singkong, melinjo, jagung, dan semua yang memungkinkan nyamuk untuk berkembangbiak. 

Sayangnya Mustafa yang tidak pandai sewaktu duduk di bangku SD ini, tidak menyadari kalau ada kota di Pulau Lombok ini yang terkenal dengan sebutan "kota 1000 mesjid". Dan kota yang dimaksud adalah kota yang menjadi pusat kegiatan masyarakat pulau lombok. Dan juga kota yang menjadi tempat tinggal Mustafa. 

Masalah buat Mustafa? Tidak!

Tidak masalah bagi Mustafa ketika pagi-pagi dia dibangunkan oleh adzan yang berkoar dari mesjid sebelah kosnya. Tidak masalah bagi Mustafa ketika ditengah jalan berdiri dengan gagah dan lancang sebuah kotak sumbangan untuk pembangunan mesjid. Tidak masalah bagi Mustafa ketika dia baru berjalan 10 meter dari sebuah mesjid dia akan menemukan mesjid lainnya. Tidak masalah bagi Mustafa ketika dia melewati sebuah mesjid yang berhadap-hadapan. Tidak masalah bagi Mustafa ketika dia melihat tanah luas berpuluh kali lipat lapangan sepak bola sedang dibangun sebuah islamic center. 

Tidak masalah sungguh, karena Mustafa adalah seorang yang beragama. Mustafa memahami ritual agama dengan pernak-perniknya adalah kebutuhan manusia. Tetapi menjadi masalah bagi Mustafa ketika sebuah gereja yang belum lama diperbaiki ingin membangun sebuah tempat untuk beribadah dengan tenang dipersulit. Menjadi masalah bagi Mustafa ketika orang beragama lain harus mencoret tembok depan rumahnya dengan milik pribumi agar rumahnya tidak dibully oleh pihak tak bertanggung jawab. Menjadi masalah ketika satu kelompok pemeluk agama lain harus mengungsi ke pulau sebelah karena sedang ada isu SARA. 

Bayangan slogan negara yang dipahami oleh seluruh warga negara sebagai pedoman hidup seketika hilang. Tidak ada romantisme hidup di pulau ini.

Berat sepertinya melibatkan negara dalam kasus seperti ini. "Rakyat Kuasa" yang dulu sering dikoar-koarkan oleh Mustafa saat masih menjadi mahasiswa baru pun baru dirasakannya sekarang. Tidak ada yang aparat negara yang bisa menghentikan amuk massa ketika isu penculikan tersebar. Tidak ada yang bisa menghentikan pembantaian dan perusakan pos polisi ketika terjadi kesalahpahaman. Selama rakyat ingin kekerasan, rakyat bersatu, dan terjadilah. Tidak adalagi pemaknaan pecis dan sarung yang digunakan untuk beribadah. Tidak adalagi pemaknaan kalung rosario yang terkalung di leher. Tidak adalagi pemaknaan tato salib yang muncul di tengkuk lehernya.

Kami beragama, dan kami satu. Kami beragam, dan kami satu. Keparat kalian atas kekerasan yang terjadi di tanah airku.







Pulang Pagi

Mustafa terkejut bukan kepalang saat pegawainya menuntut kenaikan gaji, penambahan kesejahteraan bagi keluarga, dan juga bonus setiap bulan. Pada awalnya Mustafa membuka usaha dengan segala pemikiran itu semua, mulai dari kenaikan gaji yang stabil, sampai kesejahteraan keluarga. Tetapi semua pemikiran itu kini sirna sudah. 

Pegawainya bekerja dengan tidak sepenuh hati. Tidak memberikan kontribusi yang membangun. Banyak menuntut. Tidak mencarikan pelanggan baru. Kalau bicara nyolot dan tidak ramah. Mementingkan pesanan teman yang sudah dikenal saja. Pulang satu jam lebih cepat. Datang terlambat 10 menit. Tidak kreatif. Banyak mengeluh.

Dan sekarang meminta naik gaji. Sungguh Mustafa tidak habis pikir apa yang ada di benak mereka semua.

Kini Mustafa mengalami kebingungan, dia sebenarnya bisa menangani sendiri apa yang harusnya menjadi pekerjaan pegawainya, tetapi karena Mustafa sungguh berhati mulia, dia membantu orang yang membutuhkan pekerjaan. Mustafa hanya merasa mereka menjadi parasit semua. Hanya mengambil untung sendiri tanpa ada kesadaran hubungan dua pihak.

Apa sih hubungan dua pihak?

Ya sederhana saja, kalau seseorang meminta sesuatu karena dia merasa begini dan begitu, maka dia seharusnya juga melihat dari sudut pandang yang dimintai, atau disebut pihak kedua. Nah, kalau pegawai Mustafa bisa memahami hubungan saling membutuhkan seperti ini, maka bekerjalah maksimal, maka tuntutan akan dikabulkan. ow yeah!

Mustafa mengeluhkan pegawainya yang banyak menuntut dan mengeluh, ternyata Mustafa juga sekarang sedang mengeluh. Ahhh...beginilah kehidupan, sulit sekali memahami hal yang sederhana seperti hubungan dua pihak. Bahkan Mustafa pun sekarang menjadi orang yang mudah mengeluh.

Astaga!

Thursday, October 11, 2012

bandara

Suasana Bandara Internasional Lombok
Takdir membawa saya ke airport internasional yang tunggal dan ekstra luas di pulau inil. 50 menit perjalanan dengan mobil saya tempuh dari pusat kota ke bandara, sedikit macet, sedikit berbatu, dan minim lampu jalan menemani perjalanan saya. Bandara ini akrab dipanggil BIL - Bandara Internasional Lombok. 

Saya tidak banyak singgah di bandara, tetapi dari enam bandara yang pernah saya singgahi, BIL ini bandara yang paling ajaib buat saya. Seajaib apa sih?

Jadi begini, nih, dulu di Lombok Bandara bernama Selaparang, Selaparang itu bandara kecil, yang terletak di pusat kota, jadi lebih dekat dengan mana-mana. Maksudnya dekat mana-mana tuh, dekat dengan hotel, dekat dengan tempat belanja, dekat dengan tempat makan, pokoknya dekat mana-mana dah. Kemudian Lombok berusaha untuk menjual pariwisatanya lebih gila-gilaan lagi, yang artinya harus didukung dengan sarana dan prasarana yang mendukung. Maka pada tahun 2009, Lombok mulai bergeriliya mencari lokasi bandara. Ditemukanlah tanah lapang di kota Praya, yang jauh dari pusat pemerintahan Lombok - Mataram. 

Perjuangan Lombok ini pun ga gampang, sob. Sebelum pemerintah membangun bandara ini, terjadilah perang yang maha dahsyat. Perang menggunakan tombak antar dua kubu, kubu yang setuju dengan pembangunan dan kubu yang tidak setuju dengan pembangunan. Kenapa sih tidak setuju dengan pembangunan? saya sendiri tidak tahu, karena saya terlalu takut nanti kalau banyak tanya dan ternyata saya bertanya pada kubu yang salah, perut saya akan tertembus tombak. 

Bandara ini adalah bandara berdarah yang diperjuangkan dengan susah payah. Karena pertempuran dua kubu itu, sempat beberapa kali pembangunan tersendat. Untungnya masih terus berjalan.  Kemudian setelah beberapa peperangan dilalui, tahun 2011 pun selesai pembangunan BIL ini dan diresmikan oleh bapak presiden kita yang tercinta. 

BIL ini sangat luas lahannya. Di dalam pagar bandara, masih tersisa tanah lapang yang belum dibangun, hanya rumput kering yang tinggi menghiasinya. Sungguh mengagumkan. Begitu akan masuk, kita dihidangkan dengan sepetak taman berumput hijau yang penuh dengan iklan hotel. Kemudian langsung kita menemui loket karcis parkir yang dioperatori oleh pegawai wanita yang  lama pelayanannya. Tidaklah saya terlalu mempedulikan kinerja pegawai itu, maklum saja sudah cukup. 

Masuk ke dalam area parkir yang serba luas dan tampak sangat bandara sekali, dengan jalan yang lapang, alur yang cukup jelas, saya masih menemukan lobang di dalam jalanan beraspal itu, dan lubangnya pun tidak main-main dalamnya. Barulah sampai saya ke area parkiran, dan ada kejutan lain yang saya temukan.

kejutannya adalah banyak ibu-ibu yang menggelar dagangannya - sekedar kopi dan aneka cemilan - di area parkir itu. Jadi banyak titik parkir yang seharusnya bisa diisi oleh mobil, terlanjur di sita oleh tikar dan pengunjungnya. Suasananya ramai sekali. ini tidak seperti ramai bandara yang saya bayangkan. Lapangan kosong yang mungkin belum dimanfaatkan oleh manajemen BIL, kini sudah terlanjur dimanfaatkan oleh pedagang lengkap dengan bangunan semi permanennya. ajaib.

Ini adalah bandara internasional yang terlihat tidak siap dengan status internasionalnya. Standar keamanan dan pelayanan yang tidak internasional sama sekali. Pada titik ini saya bersikap tidak adil dengan menyalahkan masyarakatnya yang tidak siap. Saya membayangkan kalau pedagang ilegal yang memanfaatkan lahan bandara ini diusir, maka siap-siap saja pesawat-pesawat yang mendarat tertusuk tombak dari warga di pulau ini. 

Dan peperanganpun terjadi lagi.  

Wednesday, October 10, 2012

Komplen

Untuk posisi pekerjaan seperti saya yang harus menggombal supaya bisa berjualan, musuh utama saya adalah komplen, atawa keluhan, ato yang paling berbahaya buat saya adalah ketidakpuasan. Kalau hanya sekedar keluhan saja sih saya tidaklah kesulitan dalam menghadapinya, tinggal dijawab saja dengan basa basi basong (basong - anjing). Saya juga akan bercerita tentang keluhan saya. Nah, kalau sudah merasa tidak puas?

Ketidakpuasan beberapa kali saya identikkan dengan aktifitas suami istri, atau gampangnya perkawinan. Ya mau bagaimana lagi kalau sudah tidak puas, cari dong pasangan lain. Seseorang tuh sudah maksimal banget dalam memberikan pelayan, tetapi ketika pasangan sudah tidak puas, ya mau bagaimana lagi. Begitu juga dengan percetakan. Saya sudah maksimal nih dalam pelayanan, usaha saya dalam memberikan hasil terbaik juga sudah pol mentok, tetapi sayang sungguh disayang, pelanggan saya tetap merasa tidak puas. Kemudian membuat saya merasa sebagai pria paling lemah sedunia.

Saya bekerja sebagai salesman atau penjaja, dan saya mengumbar janji-janji untuk mendapatkan pasar. Kini saya termakan oleh janji-janji saya itu sendiri ketika saya tersandung. alamak! sampai saat inipun saya masih saja melindungi diri sendiri dengan menggunakan kata tersandung. baiklah, saya bilang saja ketika produksi saya jelek. titik. Dan memang jelek. Kini apa yang ada di pikiran atasan saya ketika mengalami hal seperti ini.

Pelatihan yang tidak pernah ada dan yang saya alami hanya dari pengalaman saat bekerja adalah...hal seperti itu sudah sangat biasa sekali, atau sering terjadi. Atasan saya hanya menyarankan agar saya berpura-pura bodoh. jadi bagaimana itu metode pura-pura bodoh? Berpura-pura bodoh adalah saat kita sedang menerima komplen, kita akan mengangguk-angguk dan berkata "oh iya, ya?" atau "emang, yak?" atau "iya sih, ya." ya seperti itulah bagaimana berpura-pura bodoh.

Bayangkan coba kalau kamu-kamu semua itu punya usaha perhotelan, yang membutuhkan media promosi yang tepat nun jitu, sedia fotografer profesional, sedia desainer layout yang profesional, pokoknya desainnya mantaf banget dah, lalu datang ke percetakan saya dan begitu hasilnya konyol dan kamu mau komplen, saya malah angguk-angguk doang. anjing dah saya. GUK!

Saya jelas profesional, pekerjaan saya sebagai agen pemasaran, efektif banget soalnya bisa dapet klien yang baru. Tapi toh profesional pun harus dilihat dari berbagai macam sisi. kalau dilihat dari sisi kamu yang memberi saya proyek, ya profesionalisme saya hanya taik kucing. MEONGGG!

jadi mulai sekarang ketika saya mendapatkan komplen, sebagai pekerja yang sadar diri dan tampak profesional dari kedua sisi, saya hanya akan menyahut dengan gonggongan dan eongan. GUK! GUK! GUK! MEONGG!

Saturday, October 6, 2012

weekend

Weekend selalu terdengar menyenangkan, terlebih untuk yang pekerjaan sehari-harinya terasa berat dan penuh sekali. Jadi, weekend adalah saat dimana kita bisa bekerja sampai sore, main sampai pagi, dan tidak merasakan beban apapun saat bangun keesokan siangnya. 

Yang saya tunjuk adalah kamu, yang memotong jam kerja seenaknya sendiri.

Departemen Desain yang mengaku-aku sebagai tenaga kreatif dan di bumi Indonesia ini kurang dihargai idenya menculat pulang tak beralasan. Jiwa yang bebas pikir mereka. 

Penghargaan adalah ... ah, saya pikir saya tidak perlu menjelaskan penghargaan itu seperti apa. Bentuk penghargaan akan saya lihat dari dua sisi, sisi yang memberikan penghargaan dan sisi yang menerima penghargaan. Si pemberi akan memberikan penghargaan yang lebih bagi semua yang layak mendapat penghargaan. menghargai kerja keras, konsistensi, serta etika. 

Ketika orang-orang yang ada di departemen desain berkoar-koar karena kurangnya penghargaan, tetapi tidak memiliki tiga hal yang saya sebutkan di paragraf sebelum ini, maka saya jamin koaran mereka hanya akan menjadi koaran belaka. Karena orang yang berhak memberikan penghargaan hanya akan melipat tangan di dada dengan telinga tersumpal earphone iPod. 

Selamat, saya sebagai pemilik usaha akan menikmati album baru The Smashing Pumpkins saat departemen desain berkoar sampai tenggorokannya berdarah. 

saya merasa marah karena weekend saya menjadi buruk.


Monday, October 1, 2012

Persiapan kerja

Apa sih kira-kira yang ada di benak teman-teman ketika bekerja?

Bekerja tuh sebenarnya ada banyak banget ya, mulai dari bekerja atas kesadaran sendiri, sampai bekerja atas perintah atasan kita. Yang saya bicarakan di sini sebenarnya yang kedua, yaaaa...bekerja atas perintah atasan dan tentunya dengan kompensasi berupa gaji. 

Apa aja yang teman-teman persiapkan untuk bekerja dengan atasan? Ada banyak banget ya, mulai dari sekolah, terus ikut pelatihan, terus ikut latian kepemimpinan mungkin, dan banyak lagi dah pokonya. Yang jelas, persiapan itu bakal bikin kita semakin siap dengan apa yang akan kita hadapi di dunia kerja.

Tapi sayangnya tidak di kota saya tercinta ini.

Persiapan apa yang dilakukan Bunga (lagi-lagi tentang Bunga) sebelum bekerja ketika dia merasa bisa bolos kerja sewaktu-waktu. Persiapan apa yang dia lakukan ketika dia mendadak tidak hadir dan tidak memberikan kabar sedikitpun, lalu saat ditanya "kamu dimana" dan dia bisa menjawab seenaknya "di rumah" tanpa penuh dosa? Sebenarnya yang terakhir ini saya bukan membicarakan Bunga, tetapi membicarakan satu orang staff saya yang karena saya enggan memikirkan sebuah nama palsu saya mengkambinghitamkan Bunga. Kasihan Bunga.

Jadi begini, tercetaklah sebuah pesanan dari hotel yang cukup bernama di Indonesia. Pesanannya tidak sedikit, pun tidak sulit mengerjakannya. Saya menegur orang yang mengerjakan pesanan itu kemudian saya ditegur balik. Lah? "Pokoknya yang namanya percetakan tuh selalu seperti itu, ga akan bisa bagus," dia nyolot dan saya berpikir kalau saya bekerja di dunia yang salah. "Pokoknya pemesan harus menerima kalau cetakan ga bisa bagus," ujarnya denga nada yang cukup marah dan menyebalkan. LAAAHHHH! 

Itu kan aneh banget, ya. Saya sudah mencarikan pesanan, kemudian mereka pesan karena saya juga harus menjanjikan kualitas. terus kalau ternyata pemesan ini tidak puas dengan hasilnya, ya wajar lah kalau mereka mengembalikan dan tidak mau menerima. Bukannya merasa bersalah dan berpikir tentang kekurangannya - apalagi berusaha memperbaiki kinerjanya - dia malah memaksa. Ih, saya sebal sekali. Pas saya lagi panas-panasnya gitu, saya sadar kalau ada satu staff yang tidak kelihatan. Saya telpon dan dia menjawab tanpa merasa bersalah. Astaga...perusahaannya mbokmu,po? ngepeeetttttt....

Daripada saya emosi sendiri, lebih baik saya merenung.

Dan ternyata memang sepertinya saya yang kurang persiapan sih. karena kurang persiapan itu, saya menjadi orang yang lemah dan tidak berargumen. Saya tidak pernah mengikuti pelatihan menjadi seorang tukang cetak, pun tidak pernah bekerja sebagai operator mesin cetak. Jadi ketika saya dibantah, yaaa...saya ga punya argumentasi apa-apa. kan gawat ituh. Saya mau ngajari gimana mendapatkan hasil yang benar juga ga mungkin, karena saya ga bisa ngapa-ngapain juga. kosong deh rasanya.

kemudian saya berpikir lagi. kalau ternyata saya memang kurang persiapan dan sebelum berkecimpung di dunia percetakan harus bisa menjalani semua mesin, produksi sendiri, sampai nganter ke pemesan denga puas, ya keparat lah! bukan tanggung jawab saya, njing. mendingan kerja sendirian.

Mungkin saya harus keluar dan menjadi pihak yang kalah. Mungkin juga dia harus saya keluarkan dan saya tetap menjadi yang kalah, karena ongkos untuk memecat seseorang itu lebih besar daripada ongkos mencari karyawan baru. 

Sampai sekarang saya hanya bisa misuh-misuh dalam hati karena saya kurang persiapan.

keparat.