Saturday, October 27, 2012

Mustafa: Santa Lucia

Mustafa kecil terbangun pagi dan tak lupa menangis. Tidak ada kesakitan atau luka maupun mimpi buruk yang dialaminya, tetapi menjadi sebuah kewajiban bagi Mustafa kecil untuk selalu menangis setiap kali bangun tidur. Tangisannya tak akan berhenti sebelum mbah uti datang dan menggendongnya bangkit dari ranjang. Walaupun Mustafa menyangkal karena dia hanya ingat sekali dia menangis saat bangun tidur, dan itupun dia lakukan penuh dengan kesadaran, tetapi menurut pengakuan orang tuanya, tangisannya itu berlangsung sejak Mustafa lahir sampai dia masuk sekolah di TK/SD Santa Lucia.

Santa Lucia adalah sekolah milik yayasan katolik satu-satunya di Sawahlunto, bangunannya menempel dengan gereja katolik dan juga asrama untuk para katolikian yang ingin memperdalam agama tersebut. Dengan gaya arsitektur ala belanda, Santa Lucia dominan berwarna hijau dan putih, separuh bawah hijau laut, separuh atas putih. Pintu gerbangnya adalah kayu kokoh yang besar seperti gerbang milik kastil-kastil kuno di film perang elizabethian. Pilarnya hanyalah pilar sederhana yang tidak beraksen, tetapi wujudnya sangat gemuk. Tergantung sebuah bel sekolah yang terbuat dari besi, dan hanya penjaga sekolah atau kepala sekolah saja yang bisa membunyikannya. Ruangan sekolahnya tidak banyak, masing-masing tingkat ada satu kelas, ditambah dengan ruang guru dan ruang perpustakaan (garis miring ruang agama) yang kecil. Suasana yang diusungnya Sanata Lucia adalah gothic suram menyeramkan.

Untuk sebuah sekolah katolik, Mustafa merasa ada banyak hantu yang bergentayangan di sekolah itu. Bau apek dan lembab kental tersimpan dalam ingatan Mustafa. Tangga kayu yang reyot mengantarkan Mustafa kecil ke kelas di lantai dua. Toiletnya yang terletak di pojok tidak bisa disebut layak untuk digunakan, lantai toilet yang tidak jelas, gelap, bau, lobang kloset yang entah kemana, mengingatkan Mustafa pada ruang bawah tanah Lawang Sewu di Semarang. Tormented! Belum lagi bangunan mililk gereja yang terhubung dengan sekolah oleh satu lorong seram. Bangunan yang tampaknya asrama itu adalah bangunan besar dengan lantai kayu, yang terdiri dari banyak ruangan kosong yang suram. Setelah dewasa, ingatan tentang Santa Lucia selalu datang setiap dia melihat Lawang Sewu. Santa Lucia adalah TK / SD dengan bangunan penuh penyiksaan.

Tetapi banyak kenangan yang tersimpan di Santa Lucia. Seperti saat hari pertama Mustafa kecil menjadi murid TK Santa Lucia. Dari rumah, Mustafa sudah memakai seragam TK yang kerahnya sekilas tampak seperti aksen jas, lengkap dengan dasinya yang membuat Mustafa tampak gagah. Supaya tidak perlu jajan, Mustafa juga dibekali termos yang berisi air putih dan dikalungkannya. Diantar oleh mamanya, Mustafa diserahkan pada guru TKnya, Ibu Ros. Seketika itu juga Mustafa jatuh cinta pada ibu Ros, begitu pula sebaliknya.

Ibu Ros masih muda, dia mengenakan baju putih dan rok yang Mustafa tidak ingat apa warnanya. Senyum Ibu Ros sangat ramah dan tulus, tidak seperti senyum Mustafa yang ramah dan menyimpan akal bulus. Wangi tubuhnya harum, rambutnya panjang, sentuhan tangannya lembut membawa Mustafa ke dalam kelas untuk bertemu dengan rekan TK yang lain. Mustafa didudukkan sedikit di belakang dan teringat pesan mamanya sehari sebelum sekolah, begitu duduk di kursi kayu dia langsung melipat tangannya diatas meja dan memperhatikan Ibu Ros. Diantara teman TK lainnya yang terlihat hiperaktif dan ramai, Mustafa kecil lebih memilih duduk diam dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Ibu Ros.

Begitu selesai hari pertama, Mustafa kecil langsung diantarkan oleh Ibu Ros kepada mamanya sambil digandeng melewati lapak Bu Abah penjaja lontong sayur. Ibu Ros tak henti-hentinya memuji Mustafa kecil yang anteng dan tidak macam-macam, kelakuannya dinilai santun oleh Ibu Ros. Betapa besar hati mama Mustafa mendengar pujian itu dari mulut guru TKnya langsung. Pada saat itu Mustafa kecil masih memilih menggandeng tangan Ibu Ros daripada tangan mamanya sendiri, parahnya sambil menempel pada kaki Ibu Ros, sehingga mamanya harus merebutnya dengan sedikit paksaan dan sedikit malu.

Pada hari kedua, Mustafa kecil kembali diantar oleh mamanya ke sekolah. Kali ini Mustafa dijadikan contoh di tengah-tengah kelas atas sikapnya yang tenang dan tidak seagresif teman kelasnya yang lain. Dan sekali lagi kejadian seusai kelas di hari pertama terulang lagi, Mustafa harus ditarik paksa oleh mamanya untuk kembali ke rumah. Tapi kejadian ini menjadi kejadian terakhir, karena keesokannya Mustafa sudah mulai berangkat sendiri ke sekolah, hanya diantar mamanya sampai gerbang rumahnya, setelah itu Mustafa harus sendirian melewati jembatan dengan arus kali yang yang sangat besar, melewati SD Inpres, juga melewati Warung Pojok. Mustafa kecil harus melewati bahaya sendirian, dengan tas ransel berisi bekal untuk makan, mengalungi termos berisi air, dengan seragam kelasi putih biru ala Donal Bebek. Ini seragam kegemaran Mustafa, karena dengan berpakaian kelasi dia merasa lebih berjiwa petualang.

Hari demi hari berlalu, masa TK Mustafa harus berakhir dan dia akan memakai seragam putih merah tidak lama lagi. Tetapi kenyataan berkata pahit. Ternyata seusai libur panjang Mustafa harus kembali mengenakan seragam kelasi dan seragam jas sekali lagi. Sementara teman sekelasnya yang selalu dianggap lebih agresif sudah duduk di bangku SD. Sungguh malu rasanya, karena Santa Lucia adalah TK segaligus SD, jadi Mustafa pun tetap bertemu dengan teman TKnya yang kini sudah duduk di kelas 1 SD. Tentu saja Bullying tidak dapat dihindari lagi. Mustafa sampai tidak mau bersekolah lagi meskipun sudah dibujuk oleh orangtuanya. Tidak ada alasan lagi bagi Mustafa untuk melanjutkan sekolah, teman sekarang sudah menjadi musuh, Ibu Ros yang dicintainya pun sudah tidak mengajar lagi. Ingin rasanya Mustafa mengakhiri hidupnya. Untungnya dia bertemu dengan Pastor Mario.

Pastor Mario adalah pastor yang mungkin sedang melayani di Sawahlunto, langsung diimport dari Italia sana. Pastor Mario sudah sangat tua, badannya besar seperti Kolonel Sandler, perutnya besar, berjenggot putih, dan sering mengenakan kemeja putih dan celana khaki. Pertemuan Mustafa pertama kali dengan Pastor Mario adalah saat Mustafa dibawa paksa oleh mamanya ke Santa Lucia sambil menangis histeris karena enggan bersekolah dan hanya kematian yang dipikirkannya. Saat bersahabat dengan kematian itulah Mustafa dikenalkan pada Pastor Mario. Entah apa yang dijanjikan oleh Pastor Mario, tetapi pada saat itu Mustafa langsung mengangguk untuk kembali duduk di bangku TK, dan ternyata kehidupan di TK yang berikutnya sungguh menyenangkan, dia semakin disayang oleh guru-gurunya dan sering kali mendapat susu gratis lengkap dengan rotinya persembahan Pastor Mario. Nantinya setelah Mustafa berkenalan dengan Nintendo, Pastor Mario sungguh mengingatkan Mustafa pada tokoh Mario Bros. hanya warna rambutnya saja yang berbeda.

Mengalami hari yang berkesan di TK, Mustafa berjanji untuk menjadi lebih giat lagi bersekolah. Mustafa berpikir alasan teman-temannya bisa meneruskan ke bangku SD adalah karena mereka banyak bermain, maka Mustafa mulai serius bermain, mulai dari bermain menggambar, mewarnai, sampai bermain ayunan. Dan dengan keseriusan Mustafa untuk bermain, setahun kemudian Mustafa diperbolehkan duduk di bangku SD. Betapa gembira hati Mustafa kecil pada saat itu.

Mustafa pada saat itu memetik pelajaran bahwa pada saatnya akan ada kejadian baik yang menimpa seseorang yang percaya dan mau serius. Berusaha untuk serius bermain di bangku TK mengantarkan Mustafa ke bangku SD yang diincarnya sejak setahun yang lalu. Sayangnya keluguan Mustafa itu ternyata juga membahayakan Mustafa, kebiasaanya untuk serius bermain dibawa Mustafa sampai di bangku SD, sehingga keseriusannya itu hampir memaksa Mustafa untuk tinggal kelas. Sungguh bodoh sekali!

No comments:

Post a Comment