Wednesday, October 24, 2012

Mustafa: an Introduction


Malang melintang di dunia bahasa membuat kehadiran Mustafa dipertanyakan. Setiap kali selesai mempublikasikan tulisannya di lidahibu.com, selalu datang pertanyaan “siapa kamu sebenarnya, Mustafa?” dan Mustafa selalu menghiraukannya. Tidak ada maksud sesumbar atau menutup-nutupi, tetapi Mustafa sangat sedih karena alih-alih mempertanyakan bobot tulisannya, mereka lebih tertarik mempertanyakan kehidupan pribadi Mustafa. Banyaknya pertanyaan tentang kehidupan pribadi Mustafa ditanggapinya dengan serius dan sedikit…errr…sedikit salah sepertinya. Mustafa merasa dia berbakat menjadi seorang pesohor. Sungguh keterlaluan kamu, Mustafa.

Dan syarat pertama untuk menjadi pesohor pun mulai dirintisnya, yaitu membuat sebuah otobiografi tentang dirinya sendiri. Kira-kira seperti ini kisah Mustafa.

Banyak yang mengira Mustafa lahir di sebuah negara nun jauh di timur tengah sana, tetapi sebenarnya tidak, walaupun dia senang apabila orang-orang mengira dia asli arab. Mustafa adalah anak ketiga yang lahir di sebuah kota yang nyatanya menjadi kota yang sangat besar dan sibuk, Jakarta. Itulah dia, kota kelahiran Mustafa yang penuh dengan warna-warni lampu jalanan dan menawarkan permainan “boom-boom car” dan “mandi bola” di sebuah supermarket bernama Golden Trully.  Sayangnya tidak banyak ingatan Mustafa pada kota yang terkenal dengan kesibukannya ini selain Golden Trully, karena belum genap usia tiga tahun dia sudah harus berpindah ke kota lainnya, di pulau lainnya, yang jauh lebih kecil, Sawahlunto - Sumatera Barat.

Baiklah, Sawahlunto adalah sebuah kotamadya yang saat itu dikepalai oleh walikota bernama Subari Sukardi. Kota ini adalah kota kecil yang menjadi terkenal di buku pelajaran sosial milik anak sekolah dasar pada masa itu karena kandungan batu baranya yang melimpah dan tidak tertimbun jauh di dalam bumi. Sekali cangkul, emas hitam itu pun sudah bermunculan. Sungguh sebuah kota kecil yang kaya dan menyenangkan. Perusahaan yang mengelola batu bara yang melimpah ruah itupun tidak ketolongan kayanya, semua pekerjanya difasilitasi tempat tinggal, air bersih, listrik benderang, dan juga kendaraan. Bahkan tidak hanya pekerjanya saja, seluruh warga kota itu pun merasakan akibat baik dari perusahaan batu bara itu, semua rumah yang masuk di dalam lingkup kota Sawahlunto dibiayai penggunaan listriknya. Ini adalah hasil kerja sama antara perusahaan batu bara dan perusahaan listrik yang katanya milik negara.

Kini Sawahlunto sudah menjadi kota mati, paling tidak begitu menurut pengakuan ibunya Mustafa saat dia ke Sawahlunto menghadiri pemakaman sopir pribadinya dulu. Batubaranya telah habis dikeruk oleh perusahaan batu bara itu. Tambangnya sudah ditutup dan mati tanpa aktifitas. Beberapa pohon muda tampak menghiasi beberapa sudut tambang sebagai usaha penghijauan kembali. Kota Sawahlunto kini tak lagi dialiri listrik jalanan karena tidak ada yang membiayai, hanya saja dia kembali menerangkan jantung kota dengan menjadikan diri sebagai sebuah kota wisata, sambil tersengal-sengal karena tidak terbiasa mengurus dirinya sendiri.  

Mustafa kecil sungguh hidup senang dan bahagia. Hari-harinya dipenuhi dengan tawa riang dan dibanjiri cinta oleh kedua orangtua dan kedua kakaknya. Dia adalah anak yang dibanggakan oleh ayahnya, terlebih ketika dia merengek-rengek minta disekolahkan sambil bergantung di kaki ayahnya yang saat itu tampak sangat besar. Tetapi sayang, usianya belum cukup untuk masuk sekolah di taman kanak-kanak, padahal ayahnya berpikir kalau Mustafa kecil akan menjadi seorang yang pintar dan aktif. Teman-teman Mustafa yang sudah sangat mengenalnya tentu saja akan dengan lantang mengatakan kalau pemikiran ayah Mustafa tentang hal ini adalah salah besar. Kasihan ayah Mustafa.

Akhirnya karena rengekan Mustafa yang saat itu sepertinya terlalu lantang, kedua orangtuanya tidak tahan dan dengan berat hati mengijinkan Mustafa masuk taman kanak-kanak dengan usia yang sebenarnya belum cukup. Mustafa kecil girang bukan kepalang, semua orang yang ada di rumah dipeluknya, termasuk Mbak Asih, saudara bukan pembantu bukan, hanya seorang perempuan lokal yang entah kenapa selalu datang ke rumah dan ikut memasak. Dia juga memeluk buyutnya, kakak laki-lakinya, kakak perempuannya, Om Kiman – seorang Satpam dekat rumah, Mas Gino – seorang sopir, dan tentu saja memeluk ayah ibunya.

1 comment:

  1. Nggak sabar nunggu kelanjutannya... Hohoho... Viva la Mustafa!

    ReplyDelete