Malang melintang di dunia
bahasa membuat kehadiran Mustafa dipertanyakan. Setiap kali selesai
mempublikasikan tulisannya di lidahibu.com, selalu datang pertanyaan “siapa
kamu sebenarnya, Mustafa?” dan Mustafa selalu menghiraukannya. Tidak ada maksud
sesumbar atau menutup-nutupi, tetapi Mustafa sangat sedih karena alih-alih
mempertanyakan bobot tulisannya, mereka lebih tertarik mempertanyakan kehidupan
pribadi Mustafa. Banyaknya pertanyaan tentang kehidupan pribadi Mustafa
ditanggapinya dengan serius dan sedikit…errr…sedikit salah sepertinya. Mustafa
merasa dia berbakat menjadi seorang pesohor. Sungguh keterlaluan kamu, Mustafa.
Dan syarat pertama untuk
menjadi pesohor pun mulai dirintisnya, yaitu membuat sebuah otobiografi tentang
dirinya sendiri. Kira-kira seperti ini kisah Mustafa.
Banyak yang mengira Mustafa
lahir di sebuah negara nun jauh di timur tengah sana, tetapi sebenarnya tidak,
walaupun dia senang apabila orang-orang mengira dia asli arab. Mustafa adalah
anak ketiga yang lahir di sebuah kota yang nyatanya menjadi kota yang sangat
besar dan sibuk, Jakarta. Itulah dia, kota kelahiran Mustafa yang penuh dengan
warna-warni lampu jalanan dan menawarkan permainan “boom-boom car” dan “mandi
bola” di sebuah supermarket bernama Golden Trully. Sayangnya tidak banyak ingatan Mustafa pada
kota yang terkenal dengan kesibukannya ini selain Golden Trully, karena belum
genap usia tiga tahun dia sudah harus berpindah ke kota lainnya, di pulau
lainnya, yang jauh lebih kecil, Sawahlunto - Sumatera Barat.
Baiklah, Sawahlunto adalah
sebuah kotamadya yang saat itu dikepalai oleh walikota bernama Subari Sukardi.
Kota ini adalah kota kecil yang menjadi terkenal di buku pelajaran sosial milik
anak sekolah dasar pada masa itu karena kandungan batu baranya yang melimpah
dan tidak tertimbun jauh di dalam bumi. Sekali cangkul, emas hitam itu pun
sudah bermunculan. Sungguh sebuah kota kecil yang kaya dan menyenangkan. Perusahaan
yang mengelola batu bara yang melimpah ruah itupun tidak ketolongan kayanya,
semua pekerjanya difasilitasi tempat tinggal, air bersih, listrik benderang,
dan juga kendaraan. Bahkan tidak hanya pekerjanya saja, seluruh warga kota itu
pun merasakan akibat baik dari perusahaan batu bara itu, semua rumah yang masuk
di dalam lingkup kota Sawahlunto dibiayai penggunaan listriknya. Ini adalah
hasil kerja sama antara perusahaan batu bara dan perusahaan listrik yang
katanya milik negara.
Kini Sawahlunto sudah menjadi
kota mati, paling tidak begitu menurut pengakuan ibunya Mustafa saat dia ke
Sawahlunto menghadiri pemakaman sopir pribadinya dulu. Batubaranya telah habis
dikeruk oleh perusahaan batu bara itu. Tambangnya sudah ditutup dan mati tanpa
aktifitas. Beberapa pohon muda tampak menghiasi beberapa sudut tambang sebagai
usaha penghijauan kembali. Kota Sawahlunto kini tak lagi dialiri listrik
jalanan karena tidak ada yang membiayai, hanya saja dia kembali menerangkan
jantung kota dengan menjadikan diri sebagai sebuah kota wisata, sambil
tersengal-sengal karena tidak terbiasa mengurus dirinya sendiri.
Mustafa kecil sungguh hidup
senang dan bahagia. Hari-harinya dipenuhi dengan tawa riang dan dibanjiri cinta
oleh kedua orangtua dan kedua kakaknya. Dia adalah anak yang dibanggakan oleh
ayahnya, terlebih ketika dia merengek-rengek minta disekolahkan sambil bergantung
di kaki ayahnya yang saat itu tampak sangat besar. Tetapi sayang, usianya belum
cukup untuk masuk sekolah di taman kanak-kanak, padahal ayahnya berpikir kalau
Mustafa kecil akan menjadi seorang yang pintar dan aktif. Teman-teman Mustafa
yang sudah sangat mengenalnya tentu saja akan dengan lantang mengatakan kalau
pemikiran ayah Mustafa tentang hal ini adalah salah besar. Kasihan ayah
Mustafa.
Akhirnya karena rengekan
Mustafa yang saat itu sepertinya terlalu lantang, kedua orangtuanya tidak tahan
dan dengan berat hati mengijinkan Mustafa masuk taman kanak-kanak dengan usia
yang sebenarnya belum cukup. Mustafa kecil girang bukan kepalang, semua orang
yang ada di rumah dipeluknya, termasuk Mbak Asih, saudara bukan pembantu bukan,
hanya seorang perempuan lokal yang entah kenapa selalu datang ke rumah dan ikut
memasak. Dia juga memeluk buyutnya, kakak laki-lakinya, kakak perempuannya, Om
Kiman – seorang Satpam dekat rumah, Mas Gino – seorang sopir, dan tentu saja
memeluk ayah ibunya.
Nggak sabar nunggu kelanjutannya... Hohoho... Viva la Mustafa!
ReplyDelete