Thursday, September 27, 2012

Korup

Siapa sih yang tidak tahu keelokan alam Lombok? Mulai dari pantai Senggigi yang ikonik, sampai beningnya air Tanjung Aan. Saya jamin bagi yang baru pertama kali datang ke pulau Lombok pasti akan terpikat dan ingin kembali lagi. Bahkan mungkin juga ingin menetap di pulau Lombok, seperti saya.

Sayangnya saya sedikit menyesal.

Belum semua memang keindahan alam Lombok saya habiskan. Saya belum ke air terjun Sendang Gila, belum ke Gili Nanggu, belum ke Rinjani, dan belum ke pantai-pantai tak terjamah lainnya. Tapi saya sudah tidak ingin tinggal lebih lama lagi. titik.

Bekerja di sebuah perusahaan periklanan, atau mungkin percetakan sedikit lebih tepat, membuat saya berurusan langsung dengan berbagai macam pelanggan. Pelanggan lepasan yang sesekali datang, sampai pelanggan tetap yang selalu datang. Saya tidak ada masalah dengan pelanggan lepasan. Saya bermasalah dengan pelanggan tetap. Lebih khusus lagi, pelanggan dari dinas pemerintahan.

Dinas pemerintahan selalu memesan dalam jumlah yang besar. Senang sekai karena omset penjualan turut terdongkrak. Tidak terlalu ambil pusing dengan desain yang sederhana. Tidak banyak mempermasalahkan ketika saya membuat kesalahan. Dan yang paling penting, untuk pemodal saya, pembayaran yang tidak pernah terlambat. Sungguh pelanggan yang menyenangkan.

Kemudian apa yang dipermasalahkan?

Mereka meminta nota kosong.

Mereka membayar dengan harga normal, tetapi nota yang diberikan tertera harga yang sudah dikalilipatkan. Tidak masalah dengan perusahaan saya, karena hal seperti itu sudah biasa. Tetapi masalah dengan saya, karena hal seperti itu tidak biasa. Mungkin saya akan menjadi biasa dengan hal seperti itu, tapi saya tidak ingin, karena kemungkinan saya juga memiliki jiwa yang korup. 

Rekan sepekerja saya pun membenarkan seperti itu dan merasa tidak ada masalah dengan itu. Sialnya, yang korup itu adalah salah satu lembaga yang menjamin kesejahteraan sosial tenaga kerja, dan teman sekerja saya selalu mengeluh kalau kesejahteraannya tidak terpenuhi. Bahkan perwakilan dari lembaga itu pun mengeluh kalau dia tidak sejahtera. 

WTF! jadi sebenarnya hal itu masalah ga sih buat kalian?

Pesanan sebesar Rp 4.200.000,- dinaikkan menjadi Rp 9.600.000,-. Dia sudah untung dua kali lipat lebih. Dari keuntungan Rp 9.600.000 itu akan diberikan kepada kurir lembaga itu sendiri sebesar Rp 300.000,- . Biasanya keesokan hari setelah transaksi, si bapak pemesan dari lembaga itu akan datang lagi ke toko saya dengan membawakan gorengan senilai Rp 20.000,- . Saya dan seluruh pekerja menghabiskannya dengan lahap dan tidak ada yang mempertanyakan lagi, kecuali saya.

Asalnya dari mana, sih?

Ada seorang teman yang lulusan universitas negeri di kota ini. Dia kuliah di Fakultas Hukum. Lulus dengan nilai sangat memuaskan kurang dari 4 tahun (Sebenarnya saya sedikit iri, karena masa saya kuliah dua kali lebih lama dari dia dan nilai saya juga jauh dibawah dia, ditambah lagi saya bukan dari Fakultas Hukum) dan sekarang dia kerja di perusahaan listrik yang katanya milik negara. Perlu saya tekankan kalau negara yang dimaksud adalah negara Indonesia. Masuk akal, karena dia berangkat dari universitas negeri, maka kerjanya di perusahaan milik negeri juga. Dan masuk akal juga, karena orangtuanya juga bekerja di perusahaan listrik itu, maka dia juga masuk perusahaan itu.

Yang tidak masuk akal adalah, bagaimana bisa dia tidak bisa mengoperasikan komputer sekedar untuk program seperti Microsoft Word? Bagaimana bisa juga dia tidak mampu memahami bahasa inggris standar yang ada di smartphonenya? Itu kan konyol....lha wong nggarap skripsi yo nganggo Microsoft Word. Terus dengar-dengar, Fakultas Hukum juga banyak ambil referensi kuliah dari Belanda, yang kemudian (mungkin) diterjemahkan ke bahasa inggris. Kok bisa dia lulus cum laude? hah? gimana coba? (sedikit iri)

Karena dia memiliki jiwa yang korup! itu jawabannya saudara-saudara. (berdiri di mimbar, pakai baju hitam, pakai ornamen kerah warna putih) Jiwa yang korup itu sama seperti uang, tidak dibawa mati, tetapi semasa hidup mengganggu sekali. Amen, Saudara-saudara? Dia membayar orang lain untuk mengerjakan tugasnya. Dia membayar dosennya untuk meluluskannya. Dia tidak perlu paham bahasa Inggris, dia tidak perlu paham microsoft word, dia hanya perlu ongkang-ongkang kaki di pagi hari, dan jalan-jalan ke mall di sore hari. Bisa dipastikan di universitasnya yang negeri itu, orang yang tidak mampu secara keuangan, tetapi mampu secara jiwa, masih banyak menghuni kampusnya. 

Kemudian teman saya ini, yang orangtuanya juga bekerja di perusahaan listrik, mendaftar menjadi PNS. Dia melakukannya dengan cara yang bersih menurut pengakuannya. Tidak ada sogok menyogok, tidak ada nepotisme, dan pastinya tidak ada koalisi apapun. Dia ikut tes penerimaan pegawai negeri, dan loloslah dia di perusahaan listrik yang katanya milik negara itu. Amin! Emangnya tes PNS tuh gampang banget, ya? Kalau iya gampang banget, kenapa teman-teman saya banyak yang gagal ginjal gituh pas ikut tes? mungkin karena negara kita tidak membutuhkan pekerja yang bisa memahami bahasa inggris standar smartphone atau microsoft word. Cukup pekerja yang bisa menulis dan pandai mencari peluang mendapatkan penghasilan tambahan. Kalau memang seperti itu, mungkin saya akan mengurus kartu kuning dan mencoba untuk ikut tes PNS di lain kesempatan.  

Apa yang bisa saya lakukan?

Saya bisa saja tidak mau memberikan nota kosong, supaya saya sedikit memberikan edukasi terhadap orang-orang itu, tetapi kemudian pelanggan itu tidak akan kembali lagi, omset toko menurun, dan saya dipecat. 
Saya bisa saja mengadukan perwakilan lembaga pemerintahan yang korup ini ke atasannya langsung, tetapi kalau atasannya juga korup, bagaimana cerita? paling saya sebelum sampai rumah mampir dulu ke rumah sakit karena kecelakaan. 
Saya bisa saja meminta sebagian dari hasil korupsinya, tetapi saya nanti akan ditertawakan,"kan udah dibeliin gorengan". anyinggggg!

Saya menjadi penulis saja kalau begitu.
   

No comments:

Post a Comment