Thursday, June 27, 2013

Kebahagiaan Pranikah: Bidston

"Kamu tidak bahagia, ya, saat kita menikah?"

Itu tanya Musdalifah pada Mustafa di sebuah malam yang misterius. Bagaikan belati dingin dan keji yang Mustafa rasakan saat mendengarnya, tidak tahu apa jawaban yang sebenarnya diharapkan Musdalifah. Mustafa mengingat balik kejadian apa saja yang dialaminya saat itu.

Rabu adalah hari terakhir Mustafa bekerja sebelum cuti. Seperti hari biasa, seusai bekerja Mustafa tidak segera pulang, dia nongkrong dulu di kafe murahan dekat kantornya bersama sobatnya. Sedatang gelap, barulah Mustafa pulang. Betapa terkejutnya Mustafa melihat tenda yang sangat besar sudah terpajang di depan rumahnya. 

Tenda-tenda itu adalah tenda yang akan digunakan untuk menyambut tamu saat acara berdoa bersama pada hari kamis. Orangtua Mustafa jauh-jauh hari sudah menjelaskan kalau ingin mengadakan acara doa bersama agar hidup pernikahan Mustafa-Musdalifah akan berjalan baik sesuai dengan jalan Kristus, yaaaa...Mustafa tentu saja menerimanya dengan suka cita, apalagi dijanjikan untuk membuatnya menjadi acara doa bersama yang sederhana dan dihadiri oleh sedikit orang. Yaaaa...melihat tenda yang raksasa itu membuat hati Mustafa ciut, ternyata Mustafa dan orangtuanya memiliki deskripsi 'sederhana' sangat berbeda. Mustafa seketika ketakutan dan rasa malu menghampirinya. Tidak ada kepercayaan diri yang bisa Mustafa bangun. Pernikahan sudah mulai terlihat menakutkan. 

Apa yang Mustafa lakukan pada saat seperti itu? Mustafa biasanya mencari Musdalifah, tetapi sayang sekali Musdalifah sudah tidak dapat ditemui lagi, karena Musdalifah sudah dipingit dan tidak boleh bertemu dengan Mustafa. "ini celaka", pikir Mustafa. Akhirnya Mustafa hanya mengandalkan telepon genggam dan menghubungi Musdalifah, untunglah teleponnya tidak turut dipingit sehingga Mustafa masih bisa menghubungi.  Dengan keibuan Musdalifah menenangkan Mustafa untuk tidak perlu kuatir. Kemudian Mustafa tertidur.

Kamis adalah hari acara doa bersama. Mustafa tegang seharian setelah melihat kursi mulai disusun dibawah tenda, gubug untuk menyajikan makan malam mulai disusun, podium untuk pendeta berkhotbah mulai disiapkan, sound system mulai disetting. Seperti acara mantenan biasanya, untuk test sound selalu menggunakan tembang jawa. dan rumah Mustafa pun mendadak berubah seperti sedang ada di pedesaan dengan pakaian jawa yang berwarna mengkilat menyala dan dandanan menor. Suasana seketika mencekam. Bayangan Mustafa akan menghadiri doa massal tanpa kehadiran Musdalifah sangatlah menyeramkan. 

Yup, Musdalifah tidak dapat hadir. Musdalifah masih dipingit dan tidak boleh bertemu dengan Mustafa. Jadwal doa syukur pun tidak bisa dirubah karena orangtua Mustafa tidak mau mengubahnya. Orang yang hadir untuk mengikuti acara doa bersama pun tidak bisa bertem dengan Musdalifah, tidak ada calon pengantin putri terasa aneh pada saat-saat seperti itu. Ramainya orang-orang yang tidak Mustafa kenal dengan dekat, absennya Musdalifah, fokus yang tertuju pada Mustafa, hal-hal itu membuat perut Mustafa menjadi mules dan keringat dingin bercucuran. Tidak ada yang bisa menenangkan Mustafa selain Musdalifah, dan Musdalifah tidak ada. Pendeta yang berkhotbah pun tidak Mustafa kenal. 

Awalnya Mustafa tidak mau duduk dipajang di dekat mimbar tempat pendeta berkhotbah. Mustafa sempat bersembunyi di samping rumah dekat sumur tua. banyak orang mencarinya. Kerabat orangtua Mustafa yang datang turut gelisah karena pengantin pria tidak kunjung tampak. Mustafa ketakutan setengah mati. Mustafa merasakan geram dan benci pada orangtuanya yang menempatkan Mustafa di situasi seperti itu. Mustafa menyesal hidup di alam kristiani yang tidak bisa Mustafa pilih. Orang-orang bersikap ramah pada Mustafa yang tidak pernah duduk ngobrol - hampir tidak kenal, bahkan namanya pun tidak tahu. Tetapi semuanya berusaha terlihat ramah dan baik-baik saja. Entah apa yang ada di benak orang-orang itu.

Akhirnya Mustafa ditemukan oleh Umi bersembunyi di dekat sumur. Seketika diomel panjang lebar dan ditarik untuk duduk di hadapan para tamu yang sudah hadir terlebih dahulu. Mustafa muncul tanpa alas kaki, celana jeans super ketat, dan kemeja yang tidak rapih. Mustafa tidak dapat berpikir. Di samping Mustafa telah duduk Abah dengan batik dan sepatu mengkilat. Mustafa tambah merasa buruk lagi. Berulangkali pendeta berkhotbah sambil menunjuk Mustafa yang membuat calon pengantin pria ini ingin pingsan. 

Menit berlalu. Jam berlalu. Acara selesai. Abah menutup acara dengan mempersilahkan para tamu untuk menikmati hidangan. Mustafa sudah diancam untuk selalu dekat dengan Abah dan berdiri di samping abah di depan rumah untuk menyalami para tamu satu per satu. Tidak bayak wajah yang bisa Mustafa sebutkan namanya. Beberapa wajah asing. Salaman demi salaman dilalui Mustafa dengan senyum lebar yang dibuat-buat dan membuat mulutnya kaku. Tamu bubar.

Mustafa berganti pakaian dan membeli bir. Masih belum bisa menjawab pertanyaan Musdalifah.

menegangkan


1 comment:

  1. Musdalifah hanya kuatir saja melihat mimik wajah Mustafa yang nampak sebal setiap melihat foto - foto pernikahan. Rasanya karena Mustafa muak dengan make upnya yang terlalu tebal :)

    ReplyDelete