Monday, January 7, 2013

Homoprestisisme

Satu pagi, Mustafa dan ayahnya yang sudah tua, mengecil, dan beruban, duduk besama di depan televisi menikmati sarapan dan berita ekonomi dari layar. Tidak sering Mustafa berada di situasi ini, tetapi pagi itu semesta memberikan kesempatan pada Mustafa untuk menikmati pagi yang berbeda, dengan kopi yang diganti teh dan semangkuk mi instan.

Kebetulan sekali berita yang saat itu tersajikan tentang peningkatan penjualan mobil pabrikan Jepang sebesar 30%. Berita itu yang menggelitik Mustafa dan ayahnya. Mereka berdua sadar kalau beberapa bulan lalu, Amerika dan Eropa dilanda krisis ekonomi yang membuat warganya benar-benar mengencangkan ikat pinggang konsumerisme, sehingga orang-orang itu tidak banyak berbelanja, dan mungkin merencakan menanam roti alih-alih membeli roti dari supermarket terdekat. Tapi ternyata tidak terjadi di Indonesia. Oh, sayang, Amerika dan Eropa itu semacam jauh dari Indonesia, ya.

Sementara Amerika dan Eropa mengalami krisis ekonomi, Indonesia malah semakin jor-joran dalam berbelanja. Belanja mobil. Menurut ayah Mustafa, Indonesia tidak akan pernah mengalami krisis ekonomi, karena masyarakatnya terlalu keras kepala untuk jatuh dan tidak mampu membeli mobil. Separah apapun kondisi keuangan satu keluarga, mereka akan memaksakan diri untuk memiliki mobil dan kendaraan bermotor lainnya. Makanya tidak sedikit juga yang mobil atau motor diambil kembali oleh perusahaan kredit karena kelamaan nunggak bayaran.

Selain keras kepala, masyarakatnya juga gengsi-an, ndak mau keliatan susah. Ini dia! Ayah Mustafa melihat dari semakin banyaknya restoran mewah yang bermunculan dan tentu saja selalu tampak ramai, padahal ya harganya tu, ya, ndak murah juga. Jadi ya semakin mahal suatu produk atau jasa, ya semakin dicari. Hal ini tidak hanya terjadi di bisnis restoran saja, tetapi juga terjadi di bisnis properti. Semakin mahal harga rumah, ya pasti semakin cepat terjual. Kalok bisa makan di tempat yang mahal, tinggal di tempat yang mahal, dan naik mobil, maka seseorang akan merasa lebih memiliki arti. Nah!

Tentu saja homo prestisisme itu harus hidup di dunia bersama dengan homo nerimoisme. Yang terjadi di keluarga Mustafa adalah, homo prestisisme itu pada satu titik akan mencapai klimaks yang membuatnya berubah derajat menjadi homo nerimoisme, karena sudah tidak dapat mempertahankan statusnya. Proses menjadi total homo nerimoisme pun tidak
lah singkat, masih tetap ada kerinduan untuk berada di di status sebelumnya. Tetapi itu sangat wajar, karena tekanan media dari televisi dalam rupa iklan, sinetron, dan kontes mencari bakat terus menghantuinya.

Lebih mudah bagi homo nerimoisme untuk hidup bersama dengan homo prestisisme, secara namanya juga nerimo, ya, kan, tetapi tahap awal dua status itu hidup bersama sangat menyiksa bagi kedua homo itu, masing-masing sama-sama geram dengan tingkah laku lawan homo yang keterlaluan dan menurutnya tidak masuk akal. Namun ketika mereka sudah melaluinya, maka mereka akan mengalami hidup suci yang diberkati. Amin!

Mustafa dalam hati kecilnya gemetar dan mengurungkan niatnya untuk kredit mobil.



6 comments:

  1. remote TVnya boleh loh plastiknya dibuka.

    ReplyDelete
  2. Bapaknya Mustafa bisa mencak-mencak geram kalau plastiknya dibukak. "supaya higenis," ujarnya

    ReplyDelete
  3. Bapaknya Mustafa bisa mencak-mencak geram kalau plastiknya dibukak. "supaya higenis," ujarnya

    ReplyDelete
  4. .: no more VW Golf then :. =D *elus elus MIUN*

    ReplyDelete
  5. ramennya masittaaaaa..

    ReplyDelete